Refleksi dan Komparasi Terhadap Korea Selatan: Analisis Menjadikan Drama Thailand sebagai Soft Power Thailand Periode 2017–2022

Husain Aqil
7 min readJan 23, 2023

Latar Belakang

Berbicara mengenai drama Thailand, maka siapa yang tidak mengenali Nanno, tokoh utama dari drama Girl From Nowhere yang dibintangi oleh Kitty Chicha Amatayakul atau Vachirawit Chivaaree (Brights) yang membintangi drama boys love Thailand dengan tajuk Together (My Drama List, 2020). Popularitas mereka meningkat drastis berkat membintangi beberapa drama tersebut, bahkan hingga ke berbagai negara, salah satunya Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan Bright yang pernah diundang ke Indonesia untuk menjadi salah satu ambassador platform pendidikan. Tidak hanya itu, popularitas Bright juga terbukti dari meningkatnya jumlah pengikut di akun Instagramnya yang berjumlah 14.7 juta pengikut.

Meningkatnya popularitas drama Thailand, baik bergenre boys love maupun bukan, menimbulkan pertanyaan bagi penulis dengan mengaitkannya ke fenomena hallyu. Hallyu atau gelombang Korea merupakan fenomena tingginya popularitas yang berkaitan dengan dunia hiburan, seperti musik, budaya, makanan, dan drama yang saat ini kita bandingkan (Ministry of Culture, Sports and Tourism and Korean Culture and Information Service, n.d.). Hallyu dapat dikatakan telah mendunia, dibuktikan dengan meningkatnya penonton drama Korea, salah satunya penulis sendiri. Apabila dikaitkan dengan politik, justru hallyu dapat menjadi soft power bagi Korea Selatan dalam melakukan hubungan perpolitikan dengan negara lain, baik itu politik perdagangan, budaya, atau lainnya.

Berangkat dari popularitas hallyu dan meningkatnya pamor dari drama Thailand, penulis akan berusaha menganalisis dalam tulisan ini mengenai drama Thailand yang berpotensi menjadi soft power. Di sisi lain, Thailand juga memiliki budaya dan makanan yang khas sehingga memiliki pola yang serupa dengan Korea Selatan untuk menjadikan sektor hiburan mereka, khususnya drama, sebuah soft power. Dalam rangka membantu menganalisis kasus, penulis akan menggunakan teori soft power milik Nye.

Kerangka Konsep

Teori Soft Power

Power atau kekuatan seringkali diartikan sebagai sesuatu yang kasar, kuat, dan penuh paksaan. Pemahaman power tersebut merujuk kepada bagaimana sejarah terjadi dalam kehidupan manusia. Dalam sejarahnya, manusia yang memiliki otoritas cenderung memaksa orang lain untuk melakukan yang dia inginkan melalui kekerasan atau ancaman. Sebagian besar masih banyak yang berpikiran sempit seperti itu. Jika penulis merujuk kepada apa yang kamus berusaha jelaskan, power berarti memiliki kapabilitas untuk memengaruhi perilaku yang lain untuk melakukan sesuatu yang pemilik kekuatan tersebut inginkan.

Dalam dunia politik, power merupakan sesuatu yang lumrah digunakan atau menjadi pembahasan. Para pemimpin negara cenderung menggunakan kekuatannya untuk menaklukan negara atau kerajaan lain dalam rangka memperluas ranah kekuasaannya. Namun, pemaknaan power pada saat itu dapat diartikan sebagai hard power (Joseph S. Nye, 2004). Di dunia yang lebih stabil saat ini, hard power cenderung dihindarkan karena akan mengundang perhatian serta sanksi internasional.

Selain hard power, terdapat konsep power yang juga disebut sebagai second definition of power, yakni soft power (Joseph S. Nye, 2004). Menurut Nye, seseorang atau kelompok melalui kacamata soft power dapat mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa adanya ancaman yang nyata sebagai alatnya. Lanjutnya, sebuah negara bisa mendapatkan hasil yang diinginkan di politik karena negara lain mengagumi nilai, kesejahteraan, dan keterbukaan negara tersebut, sehingga ingin mengikutinya (Joseph S. Nye, 2004). Soft power bersandar pada kemampuan membentuk preferensi bagi yang lain juga. Pada tingkatan personal, kita terbiasa dengan power of attraction and seduction, atau kekuatan memikat dan bujukan. Singkatnya, jika dikaitkan apa yang Nye sampaikan, soft power diartikan sebagai kepemilikan atas kapabilitas atau sumber daya yang dapat memengaruhi hasilnya. Negara yang dipertimbangkan sangat kuat berarti memiliki populasi dan wilayah yang besar, sumber daya yang melimpah, dan ekonomi yang kuat. Kepemilikan akan kekuatan-kekuatan tersebut dapat memengaruhi negara lain, salah satunya melakukan apa yang pemilik kekuatan inginkan.

Hallyu (Drama Korea) sebagai Soft Power Korea Selatan

Berdasarkan dari laman daring milik Menteri Kebudayaan Korea (n.d.), istilah hallyu muncul ketika drama Korea mulai mendapatkan pasar di selain negara asal, pada saat itu di Cina. Pada tahun 1997, drama yang bertajuk What Is Love memasuki pasar hiburan di Cina dan setelahnya mendapatkan peringkat kedua teratas di kategori hiburan impor. Setelah itu, mulai muncul istilah hallyu untuk mendeskripsikan kegemaran terhadap budaya Korea (Ministry of Culture, Sports and Tourism and Korean Culture and Information Service, n.d.).

Saat ini, popularitas hallyu, khususnya drama Korea, mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 1997. Pada tahun 2016, laporan dari DramaFever, sebuah laman daring yang menyediakan fasilitas untuk menonton drama Korea, melaporkan bahwa setiap bulan terdapat 800 juta menit drama yang diputar (Ryan General, 2017). Di balik popularitas drama Korea, tentu terdapat faktor yang menyebabkan drama tersebut digemari oleh banyak kalangan. Ji-Yeon Yuh, seorang profesor yang berfokus pada studi Asia-Amerika menyatakan bahwa popularitas drama Korea disebabkan oleh banyak faktor (Ryan General, 2017). Salah satu alasan yang Yuh sebutkan adalah fasilitas global yang mendukung naiknya pamor drama Korea, yakni internet, sehingga memudahkan audiens global untuk mengakses drama tersebut. Selain itu, Yuh juga menyebutkan beberapa faktor yang akan penulis sebutkan tiga poin saja, yakni eye candy atau berarti menarik secara penampilan, edukatif karena menampilkan sisi kebudayaan Korea, dan yang menurut penulis terpenting, banyak mengandung momen berharga (keluarga, pertemanan, dan percintaan) (Ryan General, 2017). Hal ini dialami penulis ketika menonton drama Korea Thirty Nine, sebuah drama yang mengisahkan persahabatan tiga wanita berumur 39 tahun dan akan menginjak kepala empat, namun di tengah persahabatan mereka, salah satu sahabatnya harus menderita penyakit kanker (Suci Nurhaliza, 2022).

Popularitas Drama Thailand dan Potensi sebagai Soft Power

Sebagai variabel utama, penulis akan menelaah popularitas drama Thailand sebagaimana penulis lakukan pada bagian drama Korea. Walaupun popularitas drama Thailand mulai mengalami peningkatan pada tahun 2016, khususnya dengan genre boys love, yang berjudul Sotus, peningkatan tertinggi justru berada pada tahun 2020. Drama yang membawa popularitas tersebut memiliki tajuk Together yang dibintangi oleh Vachirawit Chivaaree (Brights). Salah satu faktor yang mendukung popularitas adalah drama tersebut ditayangkan di tengah pandemi Covid-19, sehingga dengan akses internet yang tidak terbatas, drama tersebut dapat menarik perhatian banyak penonton (Donican Lam, 2022). Tidak hanya drama yang bergenre boys love, drama lain dengan tajuk Girl From Nowhere dengan tokoh bernama Nanno juga mendapatkan banyak perhatian. Ketika sedang ditayangkan, drama Girl From Nowhere menduduki posisi empat teratas di platform Netflix Filipina selama beberapa minggu berturut-turut (Jamina F. Nitura, 2020). Terdapat beberapa alasan mengapa drama Thailand Girl From Nowhere mendapatkan popularitas yang tinggi di luar Thailand. Selain karena diperankan oleh Kitty Chicha Amatayakul, drama tersebut juga memiliki alur cerita yang tidak dapat ditebak dan pesan moral yang sangat dalam (Nisa Nararidh, 2021).

Namun, apabila dikaitkan dengan teori soft power-nya Nye, drama Thailand belum dapat menyamakan kedudukan dari drama Korea dengan hallyu mereka. Dibandingkan dengan drama mereka, makanan dan kebudayaan Thailand justru lebih banyak mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan beberapa artis kelahiran Thailand yang berkarir di luar negeri sempat mempromosikannya secara tidak langsung, seperti Lisa Blackpink yang sempat memakan bakso lokal khas Thailand (Nad Bunnag, 2022). Terdapat beberapa pelajaran dan faktor yang dapat diambil dari fenomena hallyu sebagai soft power apabila dibandingkan dengan kasus di Thailand. Industri hiburan Korea atau fenomena hallyu mulai mendapatkan panggung pada akhir tahun 1990-an. Di sisi lain, pemerintah juga setuju untuk memberikan dukungan secara finansial untuk mempromosikan budaya, hiburan, dan seni Korea ke dunia, dengan drama korea dan musik sebagai permulaan (Nad Bunnag, 2022). Tidak hanya secara finansial, proses untuk menjadikan hallyu sebagai soft power juga memakan waktu yang tidak sebentar. Sehingga waktu memiliki peran penting untuk mendukung proses tersebut. Sedangkan drama Thailand baru mendapatkan pamor dan popularitas, khususnya bergenre boys love, di atas tahun 2015. Menurut Buppa Lapawattanaphun, Thailand memiliki potensi seperti Korea Selatan dan Jepang untuk menjadikan dunia hiburan sebagai soft power, namun Thailand melewati kesempatan tersebut. Negara dianggap tidak memiliki perencanaan nasional yang matang untuk menjadikan dunia hiburan yang meliputi musik dan drama Thailand, bersamaan dengan pariwisata dan makanan, sebagai prioritas (Nad Bunnag, 2022). Namun, di samping peran pemerintah yang minim, dunia hiburan Thailand, khususnya drama, patut diapresiasi popularitasnya yang terbantu dengan keberadaan Netflix, WeTV, dan platform lainnya.

Kesimpulan

Pada teori soft power-nya Nye, dunia hiburan Thailand dapat dijadikan alat negosiasi perekonomian dan perdagangan dengan negara lain. Salah satu cara yang disajikan oleh teori tersebut adalah dengan power of attraction and seduction, atau kekuatan memikat dan bujukan. Sebagaimana Korea Selatan dan hallyu-nya, mereka dapat melakukan bisnis antar-negara dengan pengaruh soft power yang mereka punya. Namun untuk mencapai titik tersebut, Thailand masih membutuhkan usaha dari pemerintah dan waktu yang lama. Salah satu profesor di salah satu universitas di Thailand menekankan, Thailand memiliki potensi yang besar, terlebih didukung dengan pariwisata dan kuliner, untuk menjadikan dunia hiburan sebagai soft power. Faktor-faktor tersebut sama dengan yang dimiliki oleh Korea Selatan dan Jepang. Namun, pemerintah Thailand tidak terlalu menaruh perhatian dan dukungan untuk menciptakan kesempatan tersebut. Apabila pemerintah juga membantu secara kebijakan nasional dan finansial, penulis percaya dunia hiburan Thailand, khususnya drama dapat menjadi soft power sebagaimana yang Nye jelaskan.

Referensi

Bunnag, Nad. (2022).Why Thailand’s soft power is not as successful as South Korea’s. https://www.thaipbsworld.com/opinion-why-thailands-soft-power-is-not-as-successful-as-south-koreas/ (diakses pada 14 Mei 2022).

Chaiyong, Suwitcha. (2022). Support Boy’s Love and expand our soft power. https://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/2215467/support-boys-love-and-expand-our-soft-power (diakses pada 15 Mei 2022).

General, Ryan. (2021). Expert Explains Why Korean Dramas Are So Addictive. https://nextshark.com/why-korean-dramas-are-so-addicting (diakses pada 15 Mei 2022).

Lam, Donican. (2022). FEATURE: Thailand brings “boys’ love” back to Japan with homegrown dramas. https://english.kyodonews.net/news/2022/02/8dbca6f91ea6-feature-thailand-brings-boys-love-back-to-japan-with-homegrown-dramas.html (diakses pada 15 Mei 2022).

Ministry of Culture, Sports and Tourism and Korean Culture and Information Service. (n.d.). Hallyu (Korean Wave). https://www.korea.net/AboutKorea/Culture-and-the-Arts/Hallyu#none (diakses pada 15 Mei 2022).

Nararidh, Nisa. (2021). 5 reasons to watch ‘Girl from Nowhere’. https://www.lifestyleasia.com/bk/culture/entertainment/5-reasons-to-watch-girl-from-nowhere/ (diakses pada 15 Mei 2022).

Nitura, Jamina. (2020). Here’s Why the Internet Can’t Stop Talking About Netflix’s “Girl from Nowhere”. https://www.preview.ph/culture/everything-you-need-to-know-girl-from-nowhere-netflix-a00268-20200709 (diakses pada 15 Mei 2022).

Nurhaliza, Suci. (2022). Drama “Thirty Nine” tamat dengan rating tertinggi. https://www.antaranews.com/berita/2795149/drama-thirty-nine-tamat-dengan-rating-tertinggi (diakses pada 15 Mei 2022).

Pisuthipan, Arusa. (2022). Lessons from Korea on soft power. https://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/2286226/lessons-from-korea-on-soft-power (diakses pada 14 Mei 2022).

Nye, Joseph jr. (2004). Soft Power. New York: PublicAffairs.

--

--

Husain Aqil

An existential human that is interested in politics & human rights, and politics & environmental rights. Belas kasih serta pemaafan is my way to lead this life.