Sekilas Opini Mengenai Perdebatan dan Sisi yang Terlupakan Tentang Proporsi Perempuan di Parlemen

Husain Aqil
3 min readDec 14, 2020

“Sebetulnya ambang batas jumlah anggota parlemen perempuan di DPR tidaklah sepenuhnya sebuah keharusan, melainkan yang harus ditekankan adalah siapapun itu yang memiliki keahlian, maka ia berhak berada di parlemen.”

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/read/detail/262755-jadi-ketua-dpr-puan-bukti-perempuan-bisa-berpolitik?lite=true&utm_source=google&utm_medium=googlefeed&utm_campaign=googlepartnership

Saya ingat betul inti dari apa yang dikatakan dosen saya ketika di kelas perihal ambang batas atau batas mininum proporsi perempuan di parlemen. Ia menekankan bahwa sebetulnya pengharusan adanya minimal 30% perempuan di parlemen itu tidak perlu, yang diperlukan ialah siapapun yang memiliki keahlian, baik itu perempuan ataupun laki-laki, ia berhak berada di parlemen. Namun menurut saya, ada hal yang diabaikan di sini, yakni mengenai dampak dari kedudukan 30% tersebut sebagai batas minimum proporsi perempuan di parlemen. Sebelum membahas ke inti dari argumen dan pandangan saya, alangkah baiknya saya menjabarkan terlebih dahulu mengapa ada minimum proporsi tersebut.

Sekilas Mengenai Batas Minimum 30% Perempuan di Parlemen

Keharusan proporsi 30% perempuan merupakan keharusan bagi partai politik untuk memiliki minimal 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat, bukan bagi parlemen — hal ini perlu diluruskan. Upaya pelibatan tersebut dalam partai politik tentu akan mendukung pula keterlibatan perempuan dalam parlemen, terlebih dengan target proporsi minimal 30%. Undang-undang yang mendukung minimal keterikutan proporsi perempuan di parlemen sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR, yakni UU No. 2 Tahun 2008.

UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

Perdebatan dan Yang Terlupakan

Hal ini kerap kali tidak lepas dari perdebatan dengan titik perdebatannya adalah bahwa gender — isu yang dibawa kali ini — tidaklah terlalu penting untuk ditekankan, melainkan keahlianlah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama apakah seseorang layak berada di parlemen atau tidak. Fallacy atau kesalahan dari argumen tersebut yang seringkali terlewatkan adalah bahwa dengan keberadaan proporsi minimal 30% perempuan di parlemen justru dapat menjadi simbol yang memacu gerakan lain untuk menumpas patriarki di Indonesia, sehingga dapat pula menjadi simbol untuk para wanita memiliki kesempatan karir yang sama. Dengan keberadaan mereka di parlemen, hal ini akan semakin memacu mereka untuk terus percaya dan berjuang bahwa perempuan dapat memiliki akses yang sama sebagaimana kaum laki-laki.

Walaupun kita tidak bisa mengesampingkan bahwa keahlianlah yang diutamakan dalam bekerja, seperti berada di parlemen, namun kita juga tidak bisa melupakan budaya patriarki yang cukup toxic di Indonesia. Sekali lagi, ada sisi yang terlupakan, yakni bahwa pemilihan perempuan untuk berada di parlemen tidak mungkin hanya berdasarkan karena mereka perempuan, melainkan mereka berangkat bersama keahlian mereka, sehingga mereka pantas untuk berada di DPR.

Kesimpulan

Berangkat dari pemaparan di atas, kedudukan perempuan bukanlah sebatas formalitas belaka yang tidak memiliki dampak lanjutan apapun, melainkan melalui proporsi keberadaan perempuan di parlemen menandakan sebuah cara untuk menumpas budaya patriarki di Indonesia. Tidak hanya itu, ini akan meyakinkan banyak orang bahwa perempuan juga memiliki akses yang sama sebagaimana laki-laki. Di samping perdebatan tersebut, kedudukan perempuan di parlemen tidaklah hanya sebatas gender dan dianggap tidak perlu dibawa ke tingkatan pembicaraan lebih serius. Namun, yang harus ditekanakan adalah bahwa perempuan yang akan mengisi parlemen tidaklah hanya sebatas gender sehingga mereka diperjuangkan, melainkan mereka juga membawa keahlian yang membuat mereka pantas di DPR.

Bantahan-bantahan tersebut dapat dikatakan tidak masuk akal dikarenakan hanya membatasi argumen mereka pada gender semata. Mereka mengabaikan budaya patriarki yang mengakar di Indonesia dan merugikan banyak pihak, serta mereka juga mengabaikan bahwa perempuan juga dapat memiliki keahlian.

--

--

Husain Aqil

An existential human that is interested in politics & human rights, and politics & environmental rights. Belas kasih serta pemaafan is my way to lead this life.